Sejarah Mandailing
MANDAILING : SEJARAH, ADAT DAN ARSITEKTUR
PENDAHULUAN
Buku yang berjudul Mandailing : Sejarah, Adat dan Arsitektur ini
terdiri atas tiga bagian, yaitu pertama mengenai Sejarah dan Adat
Mandailing, kedua mengenai Arsitektur Tradisional Mandailing dan ketiga
mengenai Ornamen Perlambangan Adat Mandailing.
Bagian pertama buku
ini terdiri atas lima bab, yaitu bab satu pendahuluan yang berisi
deskripsi tentang asal muasal nama Mandailing; bab dua berisi deskripsi
tentang Kabupaten Daerah Tingkat II Mandailing Natal, meliputi enam sub
topik, yaitu sejarah perkembangan wilayah Mandailing natal, wilayah
administrasi pemerintahan, letak geografis, topografi, luas wilayah dan
penduduk serta potensi wilayah. Bab tiga berisi tentang sejarah
perkembangan Mandailing yang meliputi tiga sub topik, yaitu asal mula
nama Mandailing, Asal-usul Marga Mandailing dan Suku-suku asli yang
mendiami Mandailing. Bab empat berisi tentang Struktur dan Sistem Hukum
Adat Mandailing, yang meliputi tiga sub-topik, yaitu unsur-unsur Dalihan
Na Tolu, Kedudukan Dalihan Na Tolu dan Fungsi Dalihan Na Tolu. Bab lima
berisi tentang Struktur Pemerintahan dalam Masyarakat Hukum adat
Mandailing, yang meliputi dua sub-topik, yaitu Raja dan Namora Natoras.
Bagian kedua buku terdiri atas satu topik, yaitu Arsitektur tradisional
Mandailing yang berisi dua sub-topik, yaitu bangunan adat dan struktur
bangunan, sedangkan bagian ketiga buku ini juga satu topik, yaitu
ornamen.
RINGKASAN BUKU
Bagian-I : Sejarah dan Adat Mandailing
Kabupaten daerah tingkat II Mandailing Natal, merupakan kabupaten
paling selatan dari propinsi daerah tingkat I Sumatera Utara yang
dibentuk berdasarkan Undang-undang RI no 12 tahun 1998 dan disyahkan
pada tanggal 23 November 1998. Kabupaten ini adalah hasil pemekaran dari
wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Tapanuli Selatan. Mandailing
memiliki potensi wilayah yang beranekaragam, dengan sumber daya yang
cukup luas dan subur untuk dikembangkan menjadi areal pertanian seperti
kelapa, kelapa sawit, karet, padi, kulit manis, buah jeruk serta
pertambakan ikan. Potensi lain adalah adanya deposit mineral, seperti
emas, batubara, timah, belerang, besi, tembaga, seng, erak, timbal,
kaolin dan marmar.
Keberadaan Mandailing sudah diperhitungkan sejak
abad ke-14 dengan dicantumkannya nama Mandailing dalam sumpah Palapa
gajah mada pada syair ke-13 Kakawin Negarakertagama hasil karya Prapanca
sebagai daerah ekspansi Majapahit sekitar tahun 1287 Caka (1365) ke
beberapa wilayah di luar Jawa. Mandailing pada masa tersebut
diperkirakan sudah berkembang, dengan kondisi masyarakat yang homogen,
tumbuh dan terhimpun dalam suatu ketatanegaraan kerajaan dengan
kebudayaannya yang sudah tinggi di zaman tesebut.
Berabad sebelum
Prapanca, di Mandailing telah tumbuh masyarakat berbudaya tinggi
(berdasarkan catatan sejarah serangan Rajendra Cola dari India pada
tahun 1023 M ke Kerajaan Panai) di hulu sungai Barumun atau di sepanjang
aliran sungai Batang Pane mulai dari Binanga, Portibi di Gunung Tua
hingga lembah pegunungan Sibualbuali di Sipirok. Hal ini ditandai dengan
adanya masyarakat bermarga pane di Sipirok, Angkola dan Mandailing.
Dalam buku sejarah Batak yang dituliskan pada kesusasteraan klasik Toba
Tua (Tonggo-tonggo Siboru Deak parujar), juga telah disebut nama
Mandailing sebagai tempat asal nenek moyang Suku Batak Toba.
Diperkirakan, Tonggo-tonggo tersebut diciptakan setelah kelahiran si
raja Batak (generasi ke-6 Siboru Deakparujar dan Siraja Odap-odap) pada
tahun 1305 M. Siraja Batak diduga tinggal di Mandailing yang kemudian
pindah ke tanah Toba dan terus berkembang. Hal ini juga dipertegas oleh
Z. Pangaduan lubis dalam bukunya ‘Kisah Asal-usul Marga di Mandailing’.
Nama Mandailing diduga berasal dari kata Mandehilang (bahasa
Minangkabau, artinya ibu yang hilang), kata Mundahilang, kata Mandalay
(nama kota di Burma) dan kata Mandala Holing (nama kerajaan di Portibi,
Gunung Tua) Munda adalah nama bangsa di India Utara, yang menyingkir ke
Selatan pada tahun 1500 SM karena desakan Bangsa Aria. Sebagian bangsa
Munda masuk ke Sumatera melalui pelabuhan Barus di Pantai Barat
Sumatera.
Mandailing memiliki riwayat asal usul marga yang diduga
berawal sejak abad ke-9 atau -10. Mayoritas marga yang ada di Mandailing
adalah Lubis dan Nasution. Nenek Moyang Marga Lubis yang bernama Angin
Bugis berasal dari Sulawesi Selatan. Angin Bugis atau Sutan Bugis
berlayar dan menetap di Hutapanopaan (sekarang Kotanopan) dan
mengembangkan keturunannya, sampai pada anak yang bergelar Namora Pande
Bosi III. Marga Hutasuhut adalah generasi berikutnya dari keturunan
Namora Pande Bosi III, yang berasal dari ibu yang berbeda dan menetap di
daerah Guluan Gajah.
Marga Harahap dan Hasibuan juga merupakan
keturunan Namora Namora Pande Bosi III yang menetap di daerah Portibi,
Padang Bolak. Marga Pulungan berasal dari Sutan Pulungan, yang merupakan
keturunan ke lima dari Namora Pande Bosi dengan istri pertamanya yang
berasal dari Angkola. Sedangkan pembawa marga Nasution adalah Baroar
Nasakti, anak hasil pernikahan antara Batara Pinayungan (dari kerajaan
Pagaruyung) dengan Lidung Bulan (adik perempuan Sutan Pulungan) yang
menetap di Penyabungan Tonga. Moyang Marga Rangkuti dan Parinduri adalah
Mangaraja Sutan Pane yang berasal dari kerajaan Panai, Padang Lawas.
Keturunan Sutan Pane, Datu Janggut Marpayung Aji dijuluki ‘orang Nan
Ditakuti’, dan berubah menjadi Rangkuti yang menetap di Huta Lobu
Mandala Sena (Aek Marian). Keturunan Datu Janggut Marpayung Aji tersebar
ke beberapa tempat dan salah satunya ke daerah Tamiang, membawa marga
Parinduri. Nenek moyang marga Batubara, Matondang dan Daulay bernama
Parmato Sopiak dan Datu Bitcu Rayo (dua orang pemimpin serombongan orang
Melayu) berasal dari Batubara, Asahan.
Selain masyarakat bermarga,
daerah Mandailing telah didiami tiga suku lainnya, jauh sebelum abad
ke-10, yaitu Suku Sakai, Suku Hulu Muarasipongi dan suku Lubu Siladang.
Suku Sakai bermukim di hulu-hulu sungai kecil, dan beberapa juga
ditemukan di daerah Dumai dan Duri (Riau) serta Malaysia. Suku Hulu
Muarasipongi diduga berasal dari Riau, sedangkan bahasa dan adatnya,
mirip dengan bahasa dan adat Riau serta Padang Pesisir. Suku Lubu
Siladang bermukim di lereng Gunung Tor Sihite, bahasa dan adatnya
berbeda dengan bahasa dan adat Mandailing dan Melayu. Begitu pula ciri
fisiknya yang tegap, kekar, mata bulat berwarna coklat tua, dan sikap
yang ramah, rajin, selalu merendahkan diri.
Masyarakat Mandailing di
dalam pelaksanaan adat dan hukum adatnya menggunakan satu struktur
sistem adat yang disebut Dalihan Natolu (tungku yang tiga), yang
mengandung arti bahwa masyarakat Mandailing menganut sistem sosial yang
terdiri atas Kahanggi, (kelompok orang semarga), Mora (kelompok kerabat
pemberi anak gadis) dan Anak Boru (kelompok kerabat penerima anak
gadis). Ketiga unsur ini senantiasa selalu bersama dalam setiap
pelaksanaan kegiatan adat, seperti Horja (pekerjaan), yaitu tiga jenis
(a) Horja Siriaon adalah kegiatan kegembiraan meliputi upacara kelahiran
(tubuan anak), memasuki rumah baru (Marbongkot bagas na imbaru) dan
mengawinkan anak (haroan boru); (b) Horja Siluluton (upacara Kematian)
dan (c) Horja Siulaon (gotong royong).
Sistem pemerintahan di
Mandailing, sebelum datangnya Belanda merupakan pemerintahan yang
dipimpin oleh pengetua-pengetua adat, yaitu raja dan Namora Natoras
sebagai pemegang kekuasaan dan adat. Raja di Mandailing terdiri atas
beberapa jenis, yaitu Panusunan (raja tertinggi), Ihutan (di bawah
Panusunan), Pamusuk (raja satu huta, tunduk pada Panusunan dan Pamusuk) ,
Sioban Ripe (di bawah raja Pamusuk) dan Suhu (di bawah Pamusuk dan
Sioban Ripe, tetapi tidak terdapat di semua Huta). Semua raja Panusunan
yang ada di Mandailing berasal dari satu keturunan yaitu marga Lubis di
Mandailing Julu dan marga Nasution di Mandailing Godang yang
masing-masing berdaulat penuh di wilayahnya. Namora Natoras terdiri atas
Namora (orang yang menjadi kepala dari tiap parompuan kaum kerabat raja
yang merupakan kahanggi raja), Natoras (seseorang yang tertua dari satu
parompuan), suhu (orang yang semarga dengan Raja Panusunan/Pamusuk
tetapi bukan satu keturunan Raja) dan Bayo-bayo Nagodang (mereka yang
tidak semarga dengan raja, yang datang bersama-sama pada waktu tertentu
ke huta tersebut).
BAGIAN II : Arsitektur Tradisional Mandailing
Arsitektur Tradisional Mandailing yang dibahas pada bagian ini hanya
bangunan-bangunan adat seperti Bagas Godang dan Sopo Godang di beberapa
tempat di Mandailing Julu dan Mandailing Godang. Kajiannya meliputi
struktur bagian atap dan tutup ari, badan bangunan, bentuk dan susunan
tiang, tangga dan Halaman.
Pola atap Bagas Godang dan Sopo Godang
terdiri atas dua corak, yaitu (a) Sarotole, bagian puncaknya merupakan
garis datar, bermakna sifat keterbukaan dan berlapang hati, (b)
Silingkung Dolok Pancucuran, bagian puncaknya merupakan garis lengkung,
bermakna sifat berlapang hati. Tutup ari, merupakan bentuk segitiga di
bawah atap dan ditempatkan di empat arah atap pada Bagas Godang, yang
memiliki atap silang empat maupun atap yang mengarah ke depan dan ke
belakang, bermakna tanda keperkasaan, pantang menyerah. Bentuk tutup ari
juga melambangkan bindu matogu sebagai perlambangan Dalihan Natolu.
Kedua sisi miring tutup ari memiliki nama dan arti. Sebelah kiri bernama
Gaja Manyusu yang berarti setiap orang miskin harus ditolong.Sisi
miring sebelah kanan bernama naniang pamulakkon, artinya setiap yang
ditolong harus tahu diri. Bagian puncak Tutup Ari disebut Salopsop,
berbentuk pedang yang bersilangan artinya Raja memegang adat dan hukum.
Pemaknaan setiap ornamen yang tersusun di tutup ari dibahas pada topik
ornamen di bab terakhir buku tersebut.
Badan bangunan ditutupi
dinding yang disebut dorpi, artinya pelindung dari gangguan luar. Badan
bangunan terdiri atas ruang depan, tengah, ruang tidur dan dapur. Pintu
masuk depan disebut pintu ari marngaur, yang artinya setiap yang masuk
akan dihormati oleh raja/ namora natoras. Pada tangga masuk terdapat
pahatan berbentuk kepala manusia yang melambangkan ulu balang sebagai
penjaga, artinya setiap tamu harus ijin untuk masuk. Ruang pada Bagas
Godang dalam terdiri atas pantar tonga (ruang tengah), kamar tidur,
parangin-angin (ruang depan), Hanan Halan (kamar terlarang), kamar
khusus untuk perembahan raja dan ruang parsimonjapan (persembunyian).
Ruang pada Sopo Godang hanya dua, yaitu pantar na bolak (ruang
musyawarah) dan ruang penyimpanan.
Bentuk dan susunan tiang pada
Bagas Godang dan Sopo Godang bervariasi sesuai dengan luas bangunan,
tetapi prinsip penyusunan dan jumlahnya akan selalu ganjil mengikuti
angka 3,5,7,9 yang mengandung makna tertentu dalam perlambangan adat.
Tangga di Bagas Godang, letak dan jumlahnya memiliki arti penting,
disesuaikan dengan status dan kedudukan pemilik bangunan. Pada Bagas
Godang jumlah anak tangganya adalah yang paling banyak, yaitu sembilan
anak tangga sedangkan Sopo Godang, jumlah anak tangganya tujuh. Jumlah
anak tangga tujuh, lima, empat dan dua ditemukan masing-masing pada
keluarga raja, keluarga semarga raja dan rakyat biasa.
Halaman
(alaman selangseutang, utang siala mardenggan) adalah hamparan tanah
datar di depan Bagas Godang, berfungsi sebagai tempat kegiatan-kegiatan
yang berhubungan dengan upacara adat dan tempat perlindungan rakyat,
jika terjadi perkelahian. Jika terjadi kegaduhan di dalam desa, dan
pembuat onar berlari menuju halaman ini, dan ketika dia telah mencapai
halaman tersebut, tidak seorang pun berhak mengakiminya, kecuali raja
dan namora natoras.
BAGIAN-III : Ornamen
Motif ornamen pada
bangunan adat mandailing memiliki bentuk-bentuk tumbuhan, hewan dan
benda-benda pakai. Ornamen-ornamen tersebut diletakkan pada tutup ari,
dengan cara dianyam dan dijalin dan menggunakan warna-warna merah,
putih, hitam. Ada 33 jenis ornamen dengan makna tertentu, diantaranya
adalah (a) Bona Bulu yang digambarkan dengan bentuk batang bambu tegak
tersusun berbaris, artinya desa tersebut telah memiliki bona bulu (raja
yang mendirikan desa) dan telah menjadi pemimpin; (b) Bondul na Opat
artinya lantai dengan empat sudut, maknanya bahwa raja dan tetua desa
akan menyidangkan perkara seadil-adilnya dan tidak membeda-bedakan
orang; (c) Panji-panji (bendera warna-warni) yang merupakan lambang
adat, bahwa desa tersebut telah memiliki hukum adat, sopan santun serta
berbudi bahasa; (d) Raga-raga, yaitu bentuk bilah-bilah bambu yang
disusun bersilangan, bermakna larangan menikah dengan satu marga, karena
akan seperti benang kusut kehidupannya; (e) Suncang Duri, yaitu bentuk
susunan duri ikan yang saling berlawanan arahnya, bermakna bahwa tamu
yang datang harus dijamu; (f) mataniari, yaitu bentuk matahari bersinar,
bermakna bahwa raja menjadi pelindung serta menyenangkan hati rakyatnya
(g) Manuk na Bontar, yaitu ayam berwarna putih, maknanya setiap orang
yang kelakukan kesalahan akan disidangkan di Sopo Godang, diberi hukuman
yang setimpal, dibebaskan seekor ayam putih dan orang yang bersalah
diusir dari desa tersebut; (h) Loting Pak Pak, alat pemantik api dari
besi, bermakna setiap orang harus berusaha dan bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.
PEMBAHASAN
Bagian-I : Sejarah dan Adat Mandailing
Jika ditinjau secara struktur penulisan, buku yang ditulis oleh M.
Dolok Lubis pada dasarnya terdiri atas tiga bagian besar, yaitu sejarah,
adat dan arsitektur Mandailing. Namun, secara teknis penyajiannya
penulis telah menyatukan pembahasan sejarah dan adat, sehingga beberapa
topik sangat tidak mendukung deskripsi sebelumnya. Misalnya, Pada bagian
pertama yaitu bab satu, pendahuluan sama sekali tidak mendeskripsikan
tentang pentingnya buku tersebut disusun. Isi di bagian pendahuluan
tersebut lebih cocok berada pada pembahasan sejarah Mandailing.
Pembahasan sejarah dan adat yang digabungkan pada satu bagian,
menyebabkan beberapa data sering berulang pembahasannya. Topik sejarah
dan adat sebaiknya dipisahkan, sehingga sebaran bab pada tiap bagian
lebih merata. Pada buku ini, bagian satu sangat banyak jumlah bab-nya,
sedangkan bagian dua hanya dua bab, bahkan bagian tiga sama sekali tidak
memiliki bab.
Bagian pertama buku ini banyak mengulas tentang
sejarah dan adat Mandailing. Dalam deskripsinya dijelaskan bahwa pada
dasarnya, Mandailing telah ada sejak lama, yaitu sebelum 1023 M. Hal ini
dapat dibuktikan lewat tiga hal, yaitu (a). Adanya catatan sejarah
serangan Rajendra Cola dari India pada tahun 1023 ke kerajaan Panai, di
hulu sungai Barmun; (b). Kakawin Negarakertagama, teks ke-13, hasil
karya Prapanca, (sekitar 1365 M) yang diterbitkan pertama kali oleh
sarjana Belanda Dr. J. Brandes tahun 1902 dan (c). Kesusasteraan klasik
Batak Toba,Tonggo-tonggo Siboru Deakparujar, yang diperkirakan dibuat
setelah kelahiran Siraja Batak, pada tahun 1305 M.
Secara eksplisit,
deskripsi di bagian tersebut mampu memberikan informasi yang cukup
jelas tentang sejarah Mandailing, tetapi secara struktur penyusunannya
kurang tepat. Penulis langsung memulai sejarah keberadaan Mandailing
justru dari Kakawin Negarakertagama, padahal pada pembahasan selanjutnya
terdapat data lain yang angka tahunnya lebih awal, sehingga pembaca
yang awam mungkin akan beranggapan bahwa Mandailing ada sejak lebih
kurang 1365 M, padahal sesungguhnya keberadaan Mandailing diduga telah
ada lebih awal lagi, yaitu 1023 M.
Keberadaan Mandailing di awal
abad ke-10 tersebut semakin diperkuat lagi dengan adanya deskripsi pada
topik sejarah perkembangan Mandailing pada bab selanjutnya (hal.13). Di
sini dijelaskan, bahwa dari beberapa sumber diketahui Mandailing berasal
dari kata ‘Mandehilang’ dan ‘Mundahilang’. Munda, merupakan nama sebuah
suku di India Utara yang berpindah ke selatan, karena adanya serangan
bangsa Aria pada tahun 1500 SM. Pada akhir pembahasan tidak terdapat
keputusan yang pasti tentang Mandailing, dan penulis juga tidak berani
menyimpulkan sesuatu. Polemik tentang asal usul nama Mandailing sejak
lama memang telah diperdebatkan oleh masyarakatnya, namun demikian,
terdapat kesepakatan bahwa Mandailing telah ada sejak lama.
Jika
ditinjau pembahasan tentang asal-usul marga-marga di Mandailing
(hal.17), dituliskan bahwa nenek moyang Mandailing yang bermarga Lubis
berasal dari kerajaan Goa di Sulawesi Selatan. Dalam pembahasan tersebut
sangat jelas dideskripsikan silsilah marga menurut beberapa sumber yang
diacu. Pertanyaanya adalah, bagaimana dengan sejarah awal yang
menunjukkan bahwa Mandailing juga berasal dari India (hal.13). Pada
akhir pembahasan marga-marga (hal.26), penulis juga menyertakan beberapa
data tentang suku-suku asli yang mendiami Mandailing, jauh sebelum abad
ke 10 yang terdiri atas tiga suku, yaitu suku Sakai, suku Hulu Muara
Sipongi dan suku Lubu Siladang. Dari tiga suku tersebut, dijelaskan
bahwa suku Lubu Siladang memiliki ciri fisik yang berbeda dengan dua
suku lainnya dan lebih mirip dengan postur masyarakat India, yaitu
tinggi, tegap, mata bulat berwarna coklat tua. Diperkirakan, suku Lobu
Siladang inilah yang merupakan orang-orang kerajaan Mandala Holing dari
India yang tertinggal dari kelompoknya, ketika pasukan Majapahit
memasuki daerah ini pada tahun 1287 Caka (1365 M) dan bersembunyi di
lereng gunung Tor Sihite, serta membentuk kelompok masyarakat sendiri
dan sangat tertutup dengan suku lainnya. Sangat sedikit sekali
penjelasan tentang suku asli yang mendiami Mandailing pada buku ini,
sehingga masih banyak pertanyaan yang mengganjal terutama tentang
perbedaan dan persamaannya dengan suku-suku lain, khususnya yang
bermarga dan dianggap sebagai orang Mandailing yang sebenarnya. Tidak
tertutup kemungkinan, bahwa merekalah penghuni pertama yang bermukim di
bumi Mandailing. Dengan demikian, fenomena ini dapat menjadi entrypoint
yang baik untuk mengeksplorasi semua hal tentang suku asli tersebut
seperti budaya bermukimnya, arsitektur serta cultural lanscape yang ada.
Pembahasan asal usul marga dan sejarah Mandailing (hal.17) menunjukkan
bahwa nenek moyang Mandailing berasal dari beberapa tempat yang berbeda,
yaitu India (dibuktikan dengan adanya kelompok suku Lubu Siladang);
Riau (Suku Hulu Muara Sipongi); Sulawesi Selatan (marga-marga Lubis),
Padang (Marga Nasution dan Pulungan), Aceh Selatan (Marga Rangkuti dan
Parinduri); Pantai Timur Sumatera Utara/ Batubara asahan/ Tanjung Balai
(marga Batubara, Matondang, Daulay). Dengan demikian, masyarakat
Mandailing bukan hanya berasal dari Sulawesi Selatan, tapi juga beberapa
daerah lainnya di dalam dan luar negeri.
Dalihan Natolu merupakan
sistem sosial yang tergabung dalam satu tatanan struktur dan adat yang
terdiri atas Kahanggi, Mora dan Anak Boru. Kahanggi adalah hubungan
kekerabatan (kinship) antara orang-orang Mandailing semarga. Mora adalah
kelompok kerabat pemberi anak gadis dalam perkawinan (bride giver),
sedangkan Anak Boru adalah kelompok kerabat penerima anak gadis (bride
receiver). Sistem sosial tersebut berfungsi sebagai mekanisme untuk
melaksanakan adat. dalam kehidupan masyarakat Mandailing adat dan
pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari sistem tersebut. Satu saja
perangkatnya tidak ada, maka segala kegiatan tidak akan dilakukan. Hal
ini menunjukkan bahwa, dalam kehidupanya sehari-hari, masyarakat
Mandailing sangat menghormati dan menghargai orang-orang tua. Namun
demikian, orang-orang tua yang dihormati tersebut tidak lantas tinggi
hati, tetapi justru mengayomi semua kerabat, saudara bahkan orang lain
yang bukan siapa-siapa bagi mereka dalam melaksanakan setiap aktifitas
di dalam huta. Setiap individu, siapapun orangnya, satu keturunan atau
tidak, bermarga sama atau tidak atau bahkan pendatang sekalipun
mempunyai kesempatan yang sama dalam menyampaikan pendapatnya.
Saling hormat dan menghargai ini pun semakin dipertegas pada pembahasan
struktur kepemimpinan di Mandailing. Raja, di Mandailing hanya sebagai
simbol, bahwa sebuah huta telah melalui sebuah proses adat tertentu.
Raja tidak otokrat, tetapi sangat demokratis karena sebagai pemegang
kekuasaan pemerintahan dan adat, raja tidak bekerja sendirian melainkan
bersama dengan namora natoras. Disini semakin jelas dibuktikan, bahwa
dengan struktur kepemimpinan yang seperti itu, setiap individu
masyarakat dapat terwakili suaranya dalam menyampaikan aspirasinya.
Masyarakat Mandailing memiliki keistimewaan dalam menyelesaikan setiap
permasalahan, yaitu musyawarah. Jika dalam bermusyawarah, satu perangkat
tidak hadir, maka musyawarah dibatalkan. Setiap perangkat merupakan
perwakilan dari tiap kalangan yang berbeda, mulai dari orang-orang tua
keturunan raja, saudara raja, orang-orang semarga tapi beda keturunan,
orang-orang yang berbeda marga tapi tinggal di huta. Setiap mereka,
mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menyelesaikan setiap
permasalahan, jika salah satu tidak hadir maka musyawarah akan ditunda.
BAGIAN II : Arsitektur Tradisional Mandailing
Tinjauan tentang arsitektur pada bagian ini seperti terasa kurang
lengkap, karena yang ditampilkan hanyalah bangunan adat saja. Hal ini
mungkin dapat dimaklumi, karena secara visual bangunan adat tersebut
mampu menjadikan dirinya sebagai focal point di desa-desa Mandailing.
Berbicara tentang arsitektur secara fisik tentu saja tidak sekedar
bangunan-bangunan, tetapi juga lingkungan hunian, kawasan terbangun
(build environment), ruang-ruang luar seperti open space, ruang-ruang
dalam, landscape, street furniture, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Pada kasus buku Mandailing : Sejarah, Adat dan Arsitektur oleh M. Dolok
Lubis, tidak dijelaskan permasalahan yang dibahas berada pada tataran
mikro, meso atau makro, sehingga pembahasan lebih bersifat kumpulan
deskripsi tentang beberapa objek arsitektur yang dipilih secara acak di
dua tempat, yaitu Mandailing Godang dan Mandailing Julu. Padahal,
Mandailing Julu dan Mandailing Godang memiliki ciri arsitektur yang
berbeda. Beberapa pembahasan mungkin akan menghasilkan analisis yang
tajam, jika pembahasan hanya fokus pada satu tempat saja, misalnya hanya
di Mandailing Godang. Bahkan, penulisnya sendiri menegaskan bahwa
bangunan adat yang terdapat di Mandailing memiliki struktur, ukuran dan
bentuk yang khas dan berbeda (hal.49 dan hal.53).
Dalam pembahasan
bangunan adat (hal.51), dijelaskan bahwa di depan Bagas Godang terdapat
Sopo Godang, padahal dari penelitian yang telah saya lakukan, di
Mandailing Jullu saja terdapat beberapa variasi letak Bagas Godang dan
Sopo Godang. Sopo Godang tidak selalu berada di depan Bagas Godang,
tetapi sangat bervariasi. Oleh karena itu, tidak dapat dijustifikasi
bahwa di depan Bagas Godang terdapat Sopo Godang. Sayangnya, penulis
juga tidak menjelaskan di desa mana posisi yang seperti itu ditemukan,
sehingga informasi ini dapat menimbulkan kebingungan bagi pembaca awam.
Namun demikian, tinjauan tersebut dapat dijadikan pedoman untuk
mengetahui fungsi bangunan adat Mandailing, yaitu Bagas Godang, Sopo
Godang dan bangunan pelengkapnya, hopuk. Jika disimpulkan, Bagas Godang
memiliki beberapa fungsi, yaitu (a) sebagai tempat tinggal raja; (b)
sebagai bangunan adat yang menandakan bahwa desa tersebut telah memiliki
kelengkapan adat; (c) sebagai tempat berkumpul dalam melakukan kerja
adat dan (d) sebagai tempat berlindung bagi setiap anggota
masyarakatnya. Fungsi ini menunjukkan bahwa raja tidak memiliki hunian
tersebut secara mutlak, karena pada hakekatnya bangunan tersebut
dibangun bersama-sama oleh rakyat sehingga rakyat juga memiliki hak
untuk menggunakan bangunan tersebut. Namun, penggunaan hunian oleh
masyarakat disesuaikan dengan kebutuhan dan waktu-waktu tertentu,
seperti kegiatan-kegiatan adat desa. Hopuk sebagai pelengkap bangunan
adat merupakan simbol kesejahteraan sosial. Jika bangunan adat adalah
milik bersama, demikian juga halnya dengan hopuk. Setiap anggota
masyarakat yang kekurangan pangan, dapat meminta bantuan kepada raja dan
namora natoras untuk mengambil padi di hopuk. Fenomena ini semakin
menegaskan beberapa hal, yaitu (a) kedudukan raja yang senatiasa
mengayomi rakyatnya; (b) hubungan harmonis antara pemimpin dan yang
dipimpin dan (c) Hubungan harmonis antar keluarga masyarakat.
Seperti halnya kajian arsitektur yang terlalu luas lokus amatannya,
kajian struktur (hal 53 s/d hal.83) juga tidak disusun berdasarkan
krtiteria tertentu, sehingga pembaca akan sulit memahaminya. Penulis
tidak mengelompokkan struktur mana saja yang terdapat di Madailing Julu,
Mandailing Godang dan Pakantan, apakah semua struktur terdapat di dua
bangunan adat atau tidak, dan bagaimana dengan struktur yang terdapat
pada rumah-rumah kerabat raja, seperti kahanggi, mora dan anak boru ?
Namun demikian, hal yang tersirat dari semua struktur tersebut sangatlah
dalam, antara lain adalah bahwa masyarakat Mandailing adalah masyarakat
yang (a) pemberani dan pantang menyerah (simbol tutup ari); (b) terbuka
(simbol bentuk atap sarotole dan silingkung); serta (c) Suka bergotong
royong dan membantu sesama (simbol badan bangunan).
Namun, ada hal
yang menarik pada pembahasan tentang struktur ini. Walaupun kedudukan
raja di Mandailing bukan sebagai raja yang otoriter dan berdaulat penuh,
tetapi dalam mewujudkan huniannya (Bagas Godang) secara fisik tetap
menunjukkan perbedaan yang mendasar dengan hunian-hunian lainnya,
seperti (a) jumlah anak tangga dan tiang yang berbeda; (b) Tampilan dan
bentuk Fisik; (c) Dimensi; (d) Ornamen dan (e) Halaman.
Jika dikaji
secara arsitektural, hal ini mungkin berhubungan dengan beberapa alasan.
Jumlah anak tangga yang berbeda dengan rumah kebanyakan bukan hanya
mempunyai makna khusus, tetapi juga secara logika memang harus
disesuaikan dengan postur dan tinggi bangunannya. Bangunan Bagas Godang
yang besar dan tinggi tentu saja membutuhkan jumlah anak tangga yang
lebih banyak bandingkan dengan rumah rakyat kebanyakan yang lebih kecil.
Ukuran bangunan yang besar secara otomatis membutuhkan tiang-tiang
penyangga yang lebih banyak sebagai struktur dan konstruksi yang
menyokong bangunan. Hal inipun menunjukkan bahwa secara tidak langsung,
masyarakat Mandailing di masa lalu telah memiliki pemahaman tentang ilmu
konstruksi bangunan. Adapun bentuk fisik yang sangat mencolok (besar
dan megah) memang sengaja dimunculkan dan dibuat besama-sama secara
bergotog royong untuk menunjukkan pada dunia luar, bahwa desa mereka
telah memiliki kelengkapan adat. Desa yang belum kelengkapan adat tidak
memiliki Bagas Godang. Artinya, Bagas Godang adalah jati diri tempat
(genius loci). Dimensi yang berbeda dengan rumah rakyat merupakan suatu
keharusan karena pada dasarnya Bagas Godang adalah milik bersama, yang
pada saat-saat tertentu akan digunakan secara bersama-sama pula oleh
raja dan rakyatnya, sehingga ukurannya harus besar. Ornamen yang berbeda
juga disesuakan dengan kelengkapan adat yang sudah dimiliki oleh sebuah
desa. Semakin lengkap adatnya, semakin banyak ornamennya, artinya
semakin besar pula tanggung jawab raja terhadap rakyatnya.
Pembahasan tentang halaman (hal.82) pada buku tersebut sebaiknya tidak
dimasukkan ke dalam item struktur, tetapi harus dibahas tersendiri
karena halaman merupakan objek arsitektur dalam tataran mikro, sejajar
dengan struktur. Halaman di Mandailing (khususnya yang terdapat di depan
Bagas Godang) memiliki fenomena tersendiri yang unik, dan mampu
menjelaskan beberapa keterangan yang tidak lengkap pada buku ini,
seperti apakah Bagas Godang selalu berhadapan dengan Sopo Godang ?
Halaman di Mandailing memiliki struktur tersendiri yang berhubungan
dengan konsep banua di Mandailing tetapi tidak sedikitpun disinggung di
dalam buku ini.
BAGIAN-III :Ornamen
Semua ornamen yang terdapat
di bangunan adat Mandailing terdiri atas 33 jenis. Setiap ornamen
memiliki makna tersendiri dan dijelaskan cukup detail dengan dua bahasa,
yaitu bahasa Mandailing dan artinya dalam bahasa Indonesia.
Ornamen-ornamen tersebut semuanya disajikan secara keseluruhan tanpa
dibedakan apakah ornamen tersebut berada di rumah adat, balai adat,
rumah kerabat raja atau rumah rakyat biasa. Penulis tidak menempatkan
legenda atau peta kunci atau petunjuk lain (mungkin akan lebih ringkas
dalam bentuk tabulasi) sehingga pembaca tidak sulit mengidentifikasi
keberadaannya di tiap bangunan. Mungkin akan lebih terstruktur jika
pembahasannya dilengkapi dengan keterangan tertentu pada bagian yang
dibahas. Selain itu, pembahasan tentang ornamen ini tidak disertai
dengan kesimpulan akhir, sehingga pembaca harus menyimpulkan sendiri.
Semua ornamen yang terdapat pada bangunan adat tersebut menggambarkan
sikap hidup, cara pandang, nilai-nilai dan kebiasaan masyarakat
Mandailing yang sangat berbeda dengan budaya-budaya masyarakat lain yang
ada di daerah Sumatera Utara bahkan di Indonesia. Intinya, pembahasan
tentang ornamen pada bangunan adat Mandailing menggambarkan empat aspek
yang mencirikan Mandailing, yaitu aspek dalam adat, aspek kehidupan
sosial, aspek hukum adat dan aspek kepribadian.
Bagian-2 dan
bagian-3 buku tersebut sepenuhnya dikutip dari buku yang ditulis oleh
Drs. Oloan Situmorang, berjudul : Mengenali Bangunan serta Ornamen Rumah
Adat Mandailing dan Hubungannya dengan Perlambangan Adat (hal.25 s/d
hal.86).
PENDAHULUAN
Buku yang berjudul Mandailing : Sejarah,
Adat dan Arsitektur ini terdiri atas tiga bagian, yaitu pertama mengenai
Sejarah dan Adat Mandailing, kedua mengenai Arsitektur Tradisional
Mandailing dan ketiga mengenai Ornamen Perlambangan Adat Mandailing.
Bagian pertama buku ini terdiri atas lima bab, yaitu bab satu
pendahuluan yang berisi deskripsi tentang asal muasal nama Mandailing;
bab dua berisi deskripsi tentang Kabupaten Daerah Tingkat II Mandailing
Natal, meliputi enam sub topik, yaitu sejarah perkembangan wilayah
Mandailing natal, wilayah administrasi pemerintahan, letak geografis,
topografi, luas wilayah dan penduduk serta potensi wilayah. Bab tiga
berisi tentang sejarah perkembangan Mandailing yang meliputi tiga sub
topik, yaitu asal mula nama Mandailing, Asal-usul Marga Mandailing dan
Suku-suku asli yang mendiami Mandailing. Bab empat berisi tentang
Struktur dan Sistem Hukum Adat Mandailing, yang meliputi tiga sub-topik,
yaitu unsur-unsur Dalihan Na Tolu, Kedudukan Dalihan Na Tolu dan Fungsi
Dalihan Na Tolu. Bab lima berisi tentang Struktur Pemerintahan dalam
Masyarakat Hukum adat Mandailing, yang meliputi dua sub-topik, yaitu
Raja dan Namora Natoras.
Bagian kedua buku terdiri atas satu topik,
yaitu Arsitektur tradisional Mandailing yang berisi dua sub-topik, yaitu
bangunan adat dan struktur bangunan, sedangkan bagian ketiga buku ini
juga satu topik, yaitu ornamen.
RINGKASAN BUKU
Bagian-I : Sejarah dan Adat Mandailing
Kabupaten daerah tingkat II Mandailing Natal, merupakan kabupaten
paling selatan dari propinsi daerah tingkat I Sumatera Utara yang
dibentuk berdasarkan Undang-undang RI no 12 tahun 1998 dan disyahkan
pada tanggal 23 November 1998. Kabupaten ini adalah hasil pemekaran dari
wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Tapanuli Selatan. Mandailing
memiliki potensi wilayah yang beranekaragam, dengan sumber daya yang
cukup luas dan subur untuk dikembangkan menjadi areal pertanian seperti
kelapa, kelapa sawit, karet, padi, kulit manis, buah jeruk serta
pertambakan ikan. Potensi lain adalah adanya deposit mineral, seperti
emas, batubara, timah, belerang, besi, tembaga, seng, erak, timbal,
kaolin dan marmar.
Keberadaan Mandailing sudah diperhitungkan sejak
abad ke-14 dengan dicantumkannya nama Mandailing dalam sumpah Palapa
gajah mada pada syair ke-13 Kakawin Negarakertagama hasil karya Prapanca
sebagai daerah ekspansi Majapahit sekitar tahun 1287 Caka (1365) ke
beberapa wilayah di luar Jawa. Mandailing pada masa tersebut
diperkirakan sudah berkembang, dengan kondisi masyarakat yang homogen,
tumbuh dan terhimpun dalam suatu ketatanegaraan kerajaan dengan
kebudayaannya yang sudah tinggi di zaman tesebut.
Berabad sebelum
Prapanca, di Mandailing telah tumbuh masyarakat berbudaya tinggi
(berdasarkan catatan sejarah serangan Rajendra Cola dari India pada
tahun 1023 M ke Kerajaan Panai) di hulu sungai Barumun atau di sepanjang
aliran sungai Batang Pane mulai dari Binanga, Portibi di Gunung Tua
hingga lembah pegunungan Sibualbuali di Sipirok. Hal ini ditandai dengan
adanya masyarakat bermarga pane di Sipirok, Angkola dan Mandailing.
Dalam buku sejarah Batak yang dituliskan pada kesusasteraan klasik Toba
Tua (Tonggo-tonggo Siboru Deak parujar), juga telah disebut nama
Mandailing sebagai tempat asal nenek moyang Suku Batak Toba.
Diperkirakan, Tonggo-tonggo tersebut diciptakan setelah kelahiran si
raja Batak (generasi ke-6 Siboru Deakparujar dan Siraja Odap-odap) pada
tahun 1305 M. Siraja Batak diduga tinggal di Mandailing yang kemudian
pindah ke tanah Toba dan terus berkembang. Hal ini juga dipertegas oleh
Z. Pangaduan lubis dalam bukunya ‘Kisah Asal-usul Marga di Mandailing’.
Nama Mandailing diduga berasal dari kata Mandehilang (bahasa
Minangkabau, artinya ibu yang hilang), kata Mundahilang, kata Mandalay
(nama kota di Burma) dan kata Mandala Holing (nama kerajaan di Portibi,
Gunung Tua) Munda adalah nama bangsa di India Utara, yang menyingkir ke
Selatan pada tahun 1500 SM karena desakan Bangsa Aria. Sebagian bangsa
Munda masuk ke Sumatera melalui pelabuhan Barus di Pantai Barat
Sumatera.
Mandailing memiliki riwayat asal usul marga yang diduga
berawal sejak abad ke-9 atau -10. Mayoritas marga yang ada di Mandailing
adalah Lubis dan Nasution. Nenek Moyang Marga Lubis yang bernama Angin
Bugis berasal dari Sulawesi Selatan. Angin Bugis atau Sutan Bugis
berlayar dan menetap di Hutapanopaan (sekarang Kotanopan) dan
mengembangkan keturunannya, sampai pada anak yang bergelar Namora Pande
Bosi III. Marga Hutasuhut adalah generasi berikutnya dari keturunan
Namora Pande Bosi III, yang berasal dari ibu yang berbeda dan menetap di
daerah Guluan Gajah.
Marga Harahap dan Hasibuan juga merupakan
keturunan Namora Namora Pande Bosi III yang menetap di daerah Portibi,
Padang Bolak. Marga Pulungan berasal dari Sutan Pulungan, yang merupakan
keturunan ke lima dari Namora Pande Bosi dengan istri pertamanya yang
berasal dari Angkola. Sedangkan pembawa marga Nasution adalah Baroar
Nasakti, anak hasil pernikahan antara Batara Pinayungan (dari kerajaan
Pagaruyung) dengan Lidung Bulan (adik perempuan Sutan Pulungan) yang
menetap di Penyabungan Tonga. Moyang Marga Rangkuti dan Parinduri adalah
Mangaraja Sutan Pane yang berasal dari kerajaan Panai, Padang Lawas.
Keturunan Sutan Pane, Datu Janggut Marpayung Aji dijuluki ‘orang Nan
Ditakuti’, dan berubah menjadi Rangkuti yang menetap di Huta Lobu
Mandala Sena (Aek Marian). Keturunan Datu Janggut Marpayung Aji tersebar
ke beberapa tempat dan salah satunya ke daerah Tamiang, membawa marga
Parinduri. Nenek moyang marga Batubara, Matondang dan Daulay bernama
Parmato Sopiak dan Datu Bitcu Rayo (dua orang pemimpin serombongan orang
Melayu) berasal dari Batubara, Asahan.
Selain masyarakat bermarga,
daerah Mandailing telah didiami tiga suku lainnya, jauh sebelum abad
ke-10, yaitu Suku Sakai, Suku Hulu Muarasipongi dan suku Lubu Siladang.
Suku Sakai bermukim di hulu-hulu sungai kecil, dan beberapa juga
ditemukan di daerah Dumai dan Duri (Riau) serta Malaysia. Suku Hulu
Muarasipongi diduga berasal dari Riau, sedangkan bahasa dan adatnya,
mirip dengan bahasa dan adat Riau serta Padang Pesisir. Suku Lubu
Siladang bermukim di lereng Gunung Tor Sihite, bahasa dan adatnya
berbeda dengan bahasa dan adat Mandailing dan Melayu. Begitu pula ciri
fisiknya yang tegap, kekar, mata bulat berwarna coklat tua, dan sikap
yang ramah, rajin, selalu merendahkan diri.
Masyarakat Mandailing di
dalam pelaksanaan adat dan hukum adatnya menggunakan satu struktur
sistem adat yang disebut Dalihan Natolu (tungku yang tiga), yang
mengandung arti bahwa masyarakat Mandailing menganut sistem sosial yang
terdiri atas Kahanggi, (kelompok orang semarga), Mora (kelompok kerabat
pemberi anak gadis) dan Anak Boru (kelompok kerabat penerima anak
gadis). Ketiga unsur ini senantiasa selalu bersama dalam setiap
pelaksanaan kegiatan adat, seperti Horja (pekerjaan), yaitu tiga jenis
(a) Horja Siriaon adalah kegiatan kegembiraan meliputi upacara kelahiran
(tubuan anak), memasuki rumah baru (Marbongkot bagas na imbaru) dan
mengawinkan anak (haroan boru); (b) Horja Siluluton (upacara Kematian)
dan (c) Horja Siulaon (gotong royong).
Sistem pemerintahan di
Mandailing, sebelum datangnya Belanda merupakan pemerintahan yang
dipimpin oleh pengetua-pengetua adat, yaitu raja dan Namora Natoras
sebagai pemegang kekuasaan dan adat. Raja di Mandailing terdiri atas
beberapa jenis, yaitu Panusunan (raja tertinggi), Ihutan (di bawah
Panusunan), Pamusuk (raja satu huta, tunduk pada Panusunan dan Pamusuk) ,
Sioban Ripe (di bawah raja Pamusuk) dan Suhu (di bawah Pamusuk dan
Sioban Ripe, tetapi tidak terdapat di semua Huta). Semua raja Panusunan
yang ada di Mandailing berasal dari satu keturunan yaitu marga Lubis di
Mandailing Julu dan marga Nasution di Mandailing Godang yang
masing-masing berdaulat penuh di wilayahnya. Namora Natoras terdiri atas
Namora (orang yang menjadi kepala dari tiap parompuan kaum kerabat raja
yang merupakan kahanggi raja), Natoras (seseorang yang tertua dari satu
parompuan), suhu (orang yang semarga dengan Raja Panusunan/Pamusuk
tetapi bukan satu keturunan Raja) dan Bayo-bayo Nagodang (mereka yang
tidak semarga dengan raja, yang datang bersama-sama pada waktu tertentu
ke huta tersebut).
BAGIAN II : Arsitektur Tradisional Mandailing
Arsitektur Tradisional Mandailing yang dibahas pada bagian ini hanya
bangunan-bangunan adat seperti Bagas Godang dan Sopo Godang di beberapa
tempat di Mandailing Julu dan Mandailing Godang. Kajiannya meliputi
struktur bagian atap dan tutup ari, badan bangunan, bentuk dan susunan
tiang, tangga dan Halaman.
Pola atap Bagas Godang dan Sopo Godang
terdiri atas dua corak, yaitu (a) Sarotole, bagian puncaknya merupakan
garis datar, bermakna sifat keterbukaan dan berlapang hati, (b)
Silingkung Dolok Pancucuran, bagian puncaknya merupakan garis lengkung,
bermakna sifat berlapang hati. Tutup ari, merupakan bentuk segitiga di
bawah atap dan ditempatkan di empat arah atap pada Bagas Godang, yang
memiliki atap silang empat maupun atap yang mengarah ke depan dan ke
belakang, bermakna tanda keperkasaan, pantang menyerah. Bentuk tutup ari
juga melambangkan bindu matogu sebagai perlambangan Dalihan Natolu.
Kedua sisi miring tutup ari memiliki nama dan arti. Sebelah kiri bernama
Gaja Manyusu yang berarti setiap orang miskin harus ditolong.Sisi
miring sebelah kanan bernama naniang pamulakkon, artinya setiap yang
ditolong harus tahu diri. Bagian puncak Tutup Ari disebut Salopsop,
berbentuk pedang yang bersilangan artinya Raja memegang adat dan hukum.
Pemaknaan setiap ornamen yang tersusun di tutup ari dibahas pada topik
ornamen di bab terakhir buku tersebut.
Badan bangunan ditutupi
dinding yang disebut dorpi, artinya pelindung dari gangguan luar. Badan
bangunan terdiri atas ruang depan, tengah, ruang tidur dan dapur. Pintu
masuk depan disebut pintu ari marngaur, yang artinya setiap yang masuk
akan dihormati oleh raja/ namora natoras. Pada tangga masuk terdapat
pahatan berbentuk kepala manusia yang melambangkan ulu balang sebagai
penjaga, artinya setiap tamu harus ijin untuk masuk. Ruang pada Bagas
Godang dalam terdiri atas pantar tonga (ruang tengah), kamar tidur,
parangin-angin (ruang depan), Hanan Halan (kamar terlarang), kamar
khusus untuk perembahan raja dan ruang parsimonjapan (persembunyian).
Ruang pada Sopo Godang hanya dua, yaitu pantar na bolak (ruang
musyawarah) dan ruang penyimpanan.
Bentuk dan susunan tiang pada
Bagas Godang dan Sopo Godang bervariasi sesuai dengan luas bangunan,
tetapi prinsip penyusunan dan jumlahnya akan selalu ganjil mengikuti
angka 3,5,7,9 yang mengandung makna tertentu dalam perlambangan adat.
Tangga di Bagas Godang, letak dan jumlahnya memiliki arti penting,
disesuaikan dengan status dan kedudukan pemilik bangunan. Pada Bagas
Godang jumlah anak tangganya adalah yang paling banyak, yaitu sembilan
anak tangga sedangkan Sopo Godang, jumlah anak tangganya tujuh. Jumlah
anak tangga tujuh, lima, empat dan dua ditemukan masing-masing pada
keluarga raja, keluarga semarga raja dan rakyat biasa.
Halaman
(alaman selangseutang, utang siala mardenggan) adalah hamparan tanah
datar di depan Bagas Godang, berfungsi sebagai tempat kegiatan-kegiatan
yang berhubungan dengan upacara adat dan tempat perlindungan rakyat,
jika terjadi perkelahian. Jika terjadi kegaduhan di dalam desa, dan
pembuat onar berlari menuju halaman ini, dan ketika dia telah mencapai
halaman tersebut, tidak seorang pun berhak mengakiminya, kecuali raja
dan namora natoras.
BAGIAN-III : Ornamen
Motif ornamen pada
bangunan adat mandailing memiliki bentuk-bentuk tumbuhan, hewan dan
benda-benda pakai. Ornamen-ornamen tersebut diletakkan pada tutup ari,
dengan cara dianyam dan dijalin dan menggunakan warna-warna merah,
putih, hitam. Ada 33 jenis ornamen dengan makna tertentu, diantaranya
adalah (a) Bona Bulu yang digambarkan dengan bentuk batang bambu tegak
tersusun berbaris, artinya desa tersebut telah memiliki bona bulu (raja
yang mendirikan desa) dan telah menjadi pemimpin; (b) Bondul na Opat
artinya lantai dengan empat sudut, maknanya bahwa raja dan tetua desa
akan menyidangkan perkara seadil-adilnya dan tidak membeda-bedakan
orang; (c) Panji-panji (bendera warna-warni) yang merupakan lambang
adat, bahwa desa tersebut telah memiliki hukum adat, sopan santun serta
berbudi bahasa; (d) Raga-raga, yaitu bentuk bilah-bilah bambu yang
disusun bersilangan, bermakna larangan menikah dengan satu marga, karena
akan seperti benang kusut kehidupannya; (e) Suncang Duri, yaitu bentuk
susunan duri ikan yang saling berlawanan arahnya, bermakna bahwa tamu
yang datang harus dijamu; (f) mataniari, yaitu bentuk matahari bersinar,
bermakna bahwa raja menjadi pelindung serta menyenangkan hati rakyatnya
(g) Manuk na Bontar, yaitu ayam berwarna putih, maknanya setiap orang
yang kelakukan kesalahan akan disidangkan di Sopo Godang, diberi hukuman
yang setimpal, dibebaskan seekor ayam putih dan orang yang bersalah
diusir dari desa tersebut; (h) Loting Pak Pak, alat pemantik api dari
besi, bermakna setiap orang harus berusaha dan bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.
PEMBAHASAN
Bagian-I : Sejarah dan Adat Mandailing
Jika ditinjau secara struktur penulisan, buku yang ditulis oleh M.
Dolok Lubis pada dasarnya terdiri atas tiga bagian besar, yaitu sejarah,
adat dan arsitektur Mandailing. Namun, secara teknis penyajiannya
penulis telah menyatukan pembahasan sejarah dan adat, sehingga beberapa
topik sangat tidak mendukung deskripsi sebelumnya. Misalnya, Pada bagian
pertama yaitu bab satu, pendahuluan sama sekali tidak mendeskripsikan
tentang pentingnya buku tersebut disusun. Isi di bagian pendahuluan
tersebut lebih cocok berada pada pembahasan sejarah Mandailing.
Pembahasan sejarah dan adat yang digabungkan pada satu bagian,
menyebabkan beberapa data sering berulang pembahasannya. Topik sejarah
dan adat sebaiknya dipisahkan, sehingga sebaran bab pada tiap bagian
lebih merata. Pada buku ini, bagian satu sangat banyak jumlah bab-nya,
sedangkan bagian dua hanya dua bab, bahkan bagian tiga sama sekali tidak
memiliki bab.
Bagian pertama buku ini banyak mengulas tentang
sejarah dan adat Mandailing. Dalam deskripsinya dijelaskan bahwa pada
dasarnya, Mandailing telah ada sejak lama, yaitu sebelum 1023 M. Hal ini
dapat dibuktikan lewat tiga hal, yaitu (a). Adanya catatan sejarah
serangan Rajendra Cola dari India pada tahun 1023 ke kerajaan Panai, di
hulu sungai Barmun; (b). Kakawin Negarakertagama, teks ke-13, hasil
karya Prapanca, (sekitar 1365 M) yang diterbitkan pertama kali oleh
sarjana Belanda Dr. J. Brandes tahun 1902 dan (c). Kesusasteraan klasik
Batak Toba,Tonggo-tonggo Siboru Deakparujar, yang diperkirakan dibuat
setelah kelahiran Siraja Batak, pada tahun 1305 M.
Secara eksplisit,
deskripsi di bagian tersebut mampu memberikan informasi yang cukup
jelas tentang sejarah Mandailing, tetapi secara struktur penyusunannya
kurang tepat. Penulis langsung memulai sejarah keberadaan Mandailing
justru dari Kakawin Negarakertagama, padahal pada pembahasan selanjutnya
terdapat data lain yang angka tahunnya lebih awal, sehingga pembaca
yang awam mungkin akan beranggapan bahwa Mandailing ada sejak lebih
kurang 1365 M, padahal sesungguhnya keberadaan Mandailing diduga telah
ada lebih awal lagi, yaitu 1023 M.
Keberadaan Mandailing di awal
abad ke-10 tersebut semakin diperkuat lagi dengan adanya deskripsi pada
topik sejarah perkembangan Mandailing pada bab selanjutnya (hal.13). Di
sini dijelaskan, bahwa dari beberapa sumber diketahui Mandailing berasal
dari kata ‘Mandehilang’ dan ‘Mundahilang’. Munda, merupakan nama sebuah
suku di India Utara yang berpindah ke selatan, karena adanya serangan
bangsa Aria pada tahun 1500 SM. Pada akhir pembahasan tidak terdapat
keputusan yang pasti tentang Mandailing, dan penulis juga tidak berani
menyimpulkan sesuatu. Polemik tentang asal usul nama Mandailing sejak
lama memang telah diperdebatkan oleh masyarakatnya, namun demikian,
terdapat kesepakatan bahwa Mandailing telah ada sejak lama.
Jika
ditinjau pembahasan tentang asal-usul marga-marga di Mandailing
(hal.17), dituliskan bahwa nenek moyang Mandailing yang bermarga Lubis
berasal dari kerajaan Goa di Sulawesi Selatan. Dalam pembahasan tersebut
sangat jelas dideskripsikan silsilah marga menurut beberapa sumber yang
diacu. Pertanyaanya adalah, bagaimana dengan sejarah awal yang
menunjukkan bahwa Mandailing juga berasal dari India (hal.13). Pada
akhir pembahasan marga-marga (hal.26), penulis juga menyertakan beberapa
data tentang suku-suku asli yang mendiami Mandailing, jauh sebelum abad
ke 10 yang terdiri atas tiga suku, yaitu suku Sakai, suku Hulu Muara
Sipongi dan suku Lubu Siladang. Dari tiga suku tersebut, dijelaskan
bahwa suku Lubu Siladang memiliki ciri fisik yang berbeda dengan dua
suku lainnya dan lebih mirip dengan postur masyarakat India, yaitu
tinggi, tegap, mata bulat berwarna coklat tua. Diperkirakan, suku Lobu
Siladang inilah yang merupakan orang-orang kerajaan Mandala Holing dari
India yang tertinggal dari kelompoknya, ketika pasukan Majapahit
memasuki daerah ini pada tahun 1287 Caka (1365 M) dan bersembunyi di
lereng gunung Tor Sihite, serta membentuk kelompok masyarakat sendiri
dan sangat tertutup dengan suku lainnya. Sangat sedikit sekali
penjelasan tentang suku asli yang mendiami Mandailing pada buku ini,
sehingga masih banyak pertanyaan yang mengganjal terutama tentang
perbedaan dan persamaannya dengan suku-suku lain, khususnya yang
bermarga dan dianggap sebagai orang Mandailing yang sebenarnya. Tidak
tertutup kemungkinan, bahwa merekalah penghuni pertama yang bermukim di
bumi Mandailing. Dengan demikian, fenomena ini dapat menjadi entrypoint
yang baik untuk mengeksplorasi semua hal tentang suku asli tersebut
seperti budaya bermukimnya, arsitektur serta cultural lanscape yang ada.
Pembahasan asal usul marga dan sejarah Mandailing (hal.17) menunjukkan
bahwa nenek moyang Mandailing berasal dari beberapa tempat yang berbeda,
yaitu India (dibuktikan dengan adanya kelompok suku Lubu Siladang);
Riau (Suku Hulu Muara Sipongi); Sulawesi Selatan (marga-marga Lubis),
Padang (Marga Nasution dan Pulungan), Aceh Selatan (Marga Rangkuti dan
Parinduri); Pantai Timur Sumatera Utara/ Batubara asahan/ Tanjung Balai
(marga Batubara, Matondang, Daulay). Dengan demikian, masyarakat
Mandailing bukan hanya berasal dari Sulawesi Selatan, tapi juga beberapa
daerah lainnya di dalam dan luar negeri.
Dalihan Natolu merupakan
sistem sosial yang tergabung dalam satu tatanan struktur dan adat yang
terdiri atas Kahanggi, Mora dan Anak Boru. Kahanggi adalah hubungan
kekerabatan (kinship) antara orang-orang Mandailing semarga. Mora adalah
kelompok kerabat pemberi anak gadis dalam perkawinan (bride giver),
sedangkan Anak Boru adalah kelompok kerabat penerima anak gadis (bride
receiver). Sistem sosial tersebut berfungsi sebagai mekanisme untuk
melaksanakan adat. dalam kehidupan masyarakat Mandailing adat dan
pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari sistem tersebut. Satu saja
perangkatnya tidak ada, maka segala kegiatan tidak akan dilakukan. Hal
ini menunjukkan bahwa, dalam kehidupanya sehari-hari, masyarakat
Mandailing sangat menghormati dan menghargai orang-orang tua. Namun
demikian, orang-orang tua yang dihormati tersebut tidak lantas tinggi
hati, tetapi justru mengayomi semua kerabat, saudara bahkan orang lain
yang bukan siapa-siapa bagi mereka dalam melaksanakan setiap aktifitas
di dalam huta. Setiap individu, siapapun orangnya, satu keturunan atau
tidak, bermarga sama atau tidak atau bahkan pendatang sekalipun
mempunyai kesempatan yang sama dalam menyampaikan pendapatnya.
Saling hormat dan menghargai ini pun semakin dipertegas pada pembahasan
struktur kepemimpinan di Mandailing. Raja, di Mandailing hanya sebagai
simbol, bahwa sebuah huta telah melalui sebuah proses adat tertentu.
Raja tidak otokrat, tetapi sangat demokratis karena sebagai pemegang
kekuasaan pemerintahan dan adat, raja tidak bekerja sendirian melainkan
bersama dengan namora natoras. Disini semakin jelas dibuktikan, bahwa
dengan struktur kepemimpinan yang seperti itu, setiap individu
masyarakat dapat terwakili suaranya dalam menyampaikan aspirasinya.
Masyarakat Mandailing memiliki keistimewaan dalam menyelesaikan setiap
permasalahan, yaitu musyawarah. Jika dalam bermusyawarah, satu perangkat
tidak hadir, maka musyawarah dibatalkan. Setiap perangkat merupakan
perwakilan dari tiap kalangan yang berbeda, mulai dari orang-orang tua
keturunan raja, saudara raja, orang-orang semarga tapi beda keturunan,
orang-orang yang berbeda marga tapi tinggal di huta. Setiap mereka,
mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menyelesaikan setiap
permasalahan, jika salah satu tidak hadir maka musyawarah akan ditunda.
BAGIAN II : Arsitektur Tradisional Mandailing
Tinjauan tentang arsitektur pada bagian ini seperti terasa kurang
lengkap, karena yang ditampilkan hanyalah bangunan adat saja. Hal ini
mungkin dapat dimaklumi, karena secara visual bangunan adat tersebut
mampu menjadikan dirinya sebagai focal point di desa-desa Mandailing.
Berbicara tentang arsitektur secara fisik tentu saja tidak sekedar
bangunan-bangunan, tetapi juga lingkungan hunian, kawasan terbangun
(build environment), ruang-ruang luar seperti open space, ruang-ruang
dalam, landscape, street furniture, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Pada kasus buku Mandailing : Sejarah, Adat dan Arsitektur oleh M. Dolok
Lubis, tidak dijelaskan permasalahan yang dibahas berada pada tataran
mikro, meso atau makro, sehingga pembahasan lebih bersifat kumpulan
deskripsi tentang beberapa objek arsitektur yang dipilih secara acak di
dua tempat, yaitu Mandailing Godang dan Mandailing Julu. Padahal,
Mandailing Julu dan Mandailing Godang memiliki ciri arsitektur yang
berbeda. Beberapa pembahasan mungkin akan menghasilkan analisis yang
tajam, jika pembahasan hanya fokus pada satu tempat saja, misalnya hanya
di Mandailing Godang. Bahkan, penulisnya sendiri menegaskan bahwa
bangunan adat yang terdapat di Mandailing memiliki struktur, ukuran dan
bentuk yang khas dan berbeda (hal.49 dan hal.53).
Dalam pembahasan
bangunan adat (hal.51), dijelaskan bahwa di depan Bagas Godang terdapat
Sopo Godang, padahal dari penelitian yang telah saya lakukan, di
Mandailing Jullu saja terdapat beberapa variasi letak Bagas Godang dan
Sopo Godang. Sopo Godang tidak selalu berada di depan Bagas Godang,
tetapi sangat bervariasi. Oleh karena itu, tidak dapat dijustifikasi
bahwa di depan Bagas Godang terdapat Sopo Godang. Sayangnya, penulis
juga tidak menjelaskan di desa mana posisi yang seperti itu ditemukan,
sehingga informasi ini dapat menimbulkan kebingungan bagi pembaca awam.
Namun demikian, tinjauan tersebut dapat dijadikan pedoman untuk
mengetahui fungsi bangunan adat Mandailing, yaitu Bagas Godang, Sopo
Godang dan bangunan pelengkapnya, hopuk. Jika disimpulkan, Bagas Godang
memiliki beberapa fungsi, yaitu (a) sebagai tempat tinggal raja; (b)
sebagai bangunan adat yang menandakan bahwa desa tersebut telah memiliki
kelengkapan adat; (c) sebagai tempat berkumpul dalam melakukan kerja
adat dan (d) sebagai tempat berlindung bagi setiap anggota
masyarakatnya. Fungsi ini menunjukkan bahwa raja tidak memiliki hunian
tersebut secara mutlak, karena pada hakekatnya bangunan tersebut
dibangun bersama-sama oleh rakyat sehingga rakyat juga memiliki hak
untuk menggunakan bangunan tersebut. Namun, penggunaan hunian oleh
masyarakat disesuaikan dengan kebutuhan dan waktu-waktu tertentu,
seperti kegiatan-kegiatan adat desa. Hopuk sebagai pelengkap bangunan
adat merupakan simbol kesejahteraan sosial. Jika bangunan adat adalah
milik bersama, demikian juga halnya dengan hopuk. Setiap anggota
masyarakat yang kekurangan pangan, dapat meminta bantuan kepada raja dan
namora natoras untuk mengambil padi di hopuk. Fenomena ini semakin
menegaskan beberapa hal, yaitu (a) kedudukan raja yang senatiasa
mengayomi rakyatnya; (b) hubungan harmonis antara pemimpin dan yang
dipimpin dan (c) Hubungan harmonis antar keluarga masyarakat.
Seperti halnya kajian arsitektur yang terlalu luas lokus amatannya,
kajian struktur (hal 53 s/d hal.83) juga tidak disusun berdasarkan
krtiteria tertentu, sehingga pembaca akan sulit memahaminya. Penulis
tidak mengelompokkan struktur mana saja yang terdapat di Madailing Julu,
Mandailing Godang dan Pakantan, apakah semua struktur terdapat di dua
bangunan adat atau tidak, dan bagaimana dengan struktur yang terdapat
pada rumah-rumah kerabat raja, seperti kahanggi, mora dan anak boru ?
Namun demikian, hal yang tersirat dari semua struktur tersebut sangatlah
dalam, antara lain adalah bahwa masyarakat Mandailing adalah masyarakat
yang (a) pemberani dan pantang menyerah (simbol tutup ari); (b) terbuka
(simbol bentuk atap sarotole dan silingkung); serta (c) Suka bergotong
royong dan membantu sesama (simbol badan bangunan).
Namun, ada hal
yang menarik pada pembahasan tentang struktur ini. Walaupun kedudukan
raja di Mandailing bukan sebagai raja yang otoriter dan berdaulat penuh,
tetapi dalam mewujudkan huniannya (Bagas Godang) secara fisik tetap
menunjukkan perbedaan yang mendasar dengan hunian-hunian lainnya,
seperti (a) jumlah anak tangga dan tiang yang berbeda; (b) Tampilan dan
bentuk Fisik; (c) Dimensi; (d) Ornamen dan (e) Halaman.
Jika dikaji
secara arsitektural, hal ini mungkin berhubungan dengan beberapa alasan.
Jumlah anak tangga yang berbeda dengan rumah kebanyakan bukan hanya
mempunyai makna khusus, tetapi juga secara logika memang harus
disesuaikan dengan postur dan tinggi bangunannya. Bangunan Bagas Godang
yang besar dan tinggi tentu saja membutuhkan jumlah anak tangga yang
lebih banyak bandingkan dengan rumah rakyat kebanyakan yang lebih kecil.
Ukuran bangunan yang besar secara otomatis membutuhkan tiang-tiang
penyangga yang lebih banyak sebagai struktur dan konstruksi yang
menyokong bangunan. Hal inipun menunjukkan bahwa secara tidak langsung,
masyarakat Mandailing di masa lalu telah memiliki pemahaman tentang ilmu
konstruksi bangunan. Adapun bentuk fisik yang sangat mencolok (besar
dan megah) memang sengaja dimunculkan dan dibuat besama-sama secara
bergotog royong untuk menunjukkan pada dunia luar, bahwa desa mereka
telah memiliki kelengkapan adat. Desa yang belum kelengkapan adat tidak
memiliki Bagas Godang. Artinya, Bagas Godang adalah jati diri tempat
(genius loci). Dimensi yang berbeda dengan rumah rakyat merupakan suatu
keharusan karena pada dasarnya Bagas Godang adalah milik bersama, yang
pada saat-saat tertentu akan digunakan secara bersama-sama pula oleh
raja dan rakyatnya, sehingga ukurannya harus besar. Ornamen yang berbeda
juga disesuakan dengan kelengkapan adat yang sudah dimiliki oleh sebuah
desa. Semakin lengkap adatnya, semakin banyak ornamennya, artinya
semakin besar pula tanggung jawab raja terhadap rakyatnya.
Pembahasan tentang halaman (hal.82) pada buku tersebut sebaiknya tidak
dimasukkan ke dalam item struktur, tetapi harus dibahas tersendiri
karena halaman merupakan objek arsitektur dalam tataran mikro, sejajar
dengan struktur. Halaman di Mandailing (khususnya yang terdapat di depan
Bagas Godang) memiliki fenomena tersendiri yang unik, dan mampu
menjelaskan beberapa keterangan yang tidak lengkap pada buku ini,
seperti apakah Bagas Godang selalu berhadapan dengan Sopo Godang ?
Halaman di Mandailing memiliki struktur tersendiri yang berhubungan
dengan konsep banua di Mandailing tetapi tidak sedikitpun disinggung di
dalam buku ini.
BAGIAN-III :Ornamen
Semua ornamen yang terdapat
di bangunan adat Mandailing terdiri atas 33 jenis. Setiap ornamen
memiliki makna tersendiri dan dijelaskan cukup detail dengan dua bahasa,
yaitu bahasa Mandailing dan artinya dalam bahasa Indonesia.
Ornamen-ornamen tersebut semuanya disajikan secara keseluruhan tanpa
dibedakan apakah ornamen tersebut berada di rumah adat, balai adat,
rumah kerabat raja atau rumah rakyat biasa. Penulis tidak menempatkan
legenda atau peta kunci atau petunjuk lain (mungkin akan lebih ringkas
dalam bentuk tabulasi) sehingga pembaca tidak sulit mengidentifikasi
keberadaannya di tiap bangunan. Mungkin akan lebih terstruktur jika
pembahasannya dilengkapi dengan keterangan tertentu pada bagian yang
dibahas. Selain itu, pembahasan tentang ornamen ini tidak disertai
dengan kesimpulan akhir, sehingga pembaca harus menyimpulkan sendiri.
Semua ornamen yang terdapat pada bangunan adat tersebut menggambarkan
sikap hidup, cara pandang, nilai-nilai dan kebiasaan masyarakat
Mandailing yang sangat berbeda dengan budaya-budaya masyarakat lain yang
ada di daerah Sumatera Utara bahkan di Indonesia. Intinya, pembahasan
tentang ornamen pada bangunan adat Mandailing menggambarkan empat aspek
yang mencirikan Mandailing, yaitu aspek dalam adat, aspek kehidupan
sosial, aspek hukum adat dan aspek kepribadian.
Bagian-2 dan
bagian-3 buku tersebut sepenuhnya dikutip dari buku yang ditulis oleh
Drs. Oloan Situmorang, berjudul : Mengenali Bangunan serta Ornamen Rumah
Adat Mandailing dan Hubungannya dengan Perlambangan Adat (hal.25 s/d
hal.86).
Review Buku MANDAILING : SEJARAH, ADAT DAN ARSITEKTUR
posted by Alspadz Sayogi Padang
Langganan:
Postingan (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar